Adab dan Akhlak
Indahnya Cinta Kepada Allah
بسم الله الرحمن الرحيم
Cinta kepada Allah itu indah, bahkan itulah keindahan yang
paling diinginkan oleh hati dan jiwa manusia. Lebih dari itu, hati
manusia tidak mungkin merasa bahagia, tenang dan damai jika hati itu
tidak mengenal, mencintai dan menghambakan diri kepada Allah semata.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan,
kenikmatan, dan kebaikan bagi hati manusia kecuali (setelah) dia
menjadikan Allah (sebagai) sembahannya satu-satunya, puncak dari
tujuannya dan Zat yang paling dicintainya melebihi segala sesuatu (yang
ada di dunia ini)”
[1].
Allah menggambarkan agungnya keindahan ini yang menghiasi hati
hamba-hamba-Nya yang beriman dengan iman yang sempurna, yaitu para
Shahabat , Dia berfirman:
{وَلَكِنَّ
اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ
وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ
هُمُ الرَّاشِدُونَ}
“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta
kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah (seperti perhiasan) dalam
hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan
perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang
lurus” (QS al-Hujuraat:7).
Artinya : Allah Dialah memberikan taufik kepadamu sehingga kamu
mencintai keimanan, serta Dia menjadikan rasa cinta kepada-Nya indah di
dalam hatimu dan paling kamu cintai melebihi segala sesuatu yang ada di
dunia ini, maka dengan itu kamu semakin bersemangat melakukan segala
perbuatan yang menumbuhkan dan menyempurnakan imanmu kepada-Nya
[2].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Allah menjadikan hamba-hamba-Nya yang
beriman cinta kepada keimanan, yaitu (dengan) menumbuhkan dalam hati
mereka rasa cinta kepada-Nya…Maka dalam ayat ini Allah mejelaskan bahwa
Dia menumbuhkan di dalam hati hamba-hamba-Nya yang beriman dua hal;
rasa cinta kepada-Nya dan indahnya rasa cinta kepada-Nya, yang ini
semakin memotivasi (mereka) untuk semakin mencintai-Nya, serta Dia
menumbuhkan di dalam hati mereka kebencian terhadap hal-hal yang
bertentangan dengan keimanan, yaitu kekafiran, kefasikan dan perbuatan
maksiat…”
[3].
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah berdoa kepada Allah memohon keindahan ini:
« اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ »
“Ya Allah, hiasilah (diri) kami dengan perhiasan (keindahan) iman,
serta jadikanlah kami sebagai orang-orang yang (selalu) mendapat
petunjuk (dari-Mu) dan memberi petnjuk (kepada orang lain)”
[4].
Allah Maha Indah serta Maha Mencintai dan dicintai hamba-hamba-Nya yang shaleh
Untuk memahami indahnya cinta kepada Allah , yang keindahan ini
dianugerahkan-Nya kepada hamba-hamba yang dipilih-Nya, maka marilah kita
pahami dan renungkan dua nama Allah yang termasuk
al-Asma-ul husna (nama-nama Allah yang maha indah), yaitu nama-Nya
al-Jamiil (Yang Maha Indah) dan
al-Waduud (Yang Maha Mencintai dan dicintai hamba-hamba-Nya yang shaleh).
1- Nama Allah
al-Jamiil artinya: Allah Maha Indah semua perbuatan-Nya dan Maha Sempurna semua sifat-Nya
[5].
Nama Allah ini menunjukkan sempurnanya keindahan Allah pada semua nama, sifat, zat dan perbuatan-Nya
[6].
Sempurnanya keindahan inilah yang menjadikan seorang hamba yang
mengenal Allah akan mencintai-Nya dan menjadikan kecintaan tersebut
sebagai keindahan yang paling didambakan oleh hatinya melebihi segala
sesuatu yang ada di dunia ini.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah dengan
nama-nama-Nya (Yang Maha Indah), sifat-sifat-Nya (Yang Maha Sempurna)
dan perbuatan-perbuatan-Nya Yang Maha Agung) maka dia pasti akan
mencintai-Nya”
[7].
Di tempat lain, beliau berkata: “Kecintaan itu memiliki dua (sebab)
yang membangkitkannya, (yaitu) keindahan dan pengagungan, dan Allah
memiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu, karena Dia Maha Indah
dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan
semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatupun
yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena zatnya kecuali Allah ”
[8].
2- Nama Allah
al-Waduud artinya: Allah Maha Mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman dan merekapun mencintai-Nya
[9].
Imam Ibnul Atsir dan Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa nama Allah
al-Waduud bisa berarti
al-mauduud (yang dicintai), artinya Allah dicintai dalam hati para kekasih-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya). Juga bisa berarti
al-waadd (yang mencintai), artinya Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang shaleh
[10].
Maka makna
al-Waduud adalah bahwa Allah mencintai para
Nabi dan Rasul-Nya, serta orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka
dan merekapun mencintai-Nya. Bahkan mereka mencintai-Nya lebih dari
segala sesuatu (yang ada di dunia), sehingga hati mereka dipenuhi dengan
kecintaan kepada-Nya, lidah mereka selalu mengucapkan pujian/sanjungan
bagi-Nya dan jiwa mereka selalu tertuju kepada-Nya dalam kecintaan,
keikhlasan dan kembali kepada-Nya dalam semua keadaan”
[11].
Bahkan kandungan makna nama-Nya yang maha indah ini menunjukkan bahwa
Allah menyeru hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mencintai-Nya, karena
kecintaan kepada-Nya adalah sumber kebahagiaan, kedamaian dan
ketenangan yang hakiki bagi jiwa manusia.
Dia mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dan menjadikan-Nya
lebih mereka cintai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini, karena
semua sebab yang memotivasi manusia untuk mencintai sesuatu di dunia
ini, maka Allah memiliki semua itu secara sempurna, bahkan
kemahasempurnaan-Nya melebihi semua kesempurnaan yang bisa dijangkau
oleh pikiran manusia.
Rasulullah menggambarkan hal ini dalam sebuah doa beliau yang terkenal:
لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“(Ya Allah), aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan
terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang
Engkau peruntukkan bagi diri-Mu sendiri”
[12].
Maka oleh karena itu, Allah Dialah satu-satunya Zat yang berhak
dicintai dan dipuji dengan sepenuh hati, ditinjau dari semua
pertimbangan dan sudut pandang, serta Dialah semata-mata yang berhak
untuk disembah dan diibadahi.
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan faidah penting ini dalam ucapan beliau: “
al-Waduud
berarti bahwa Allah mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan
(memperkenalkan kepada mereka) sifat-sifat-Nya yang maha indah,
berbagai karunia-Nya yang sangat luas, kelembutan-Nya yang tersembunyi
dan bemacam-macam nikmat-Nya yang tampak maupun tidak. Maka Dialah
al-Waduud yang berarti
al-waaddu (yang mencintai) dan (juga) berarti
al-mauduud
(yang dicintai). Dialah yang mencintai para wali dan hamba yang
dipilih-Nya, dan merekapun mencintai-Nya, maka Dialah yang mencintai
mereka dan menjadikan dalam hati mereka kecintaan kepada-Nya. Lalu
ketika mereka mencintai-Nya Diapun mencintai (membalas cinta) mereka
dengan kecintaan lain (yang lebih sempurna) sebagai balasan (kebaikan)
atas kecintaan (tulus) mereka (kepada-Nya).
Maka karunia/kebaikan semua kembali kepada-Nya, karena Dialah yang
memudahkan segala sebab untuk menjadikan hamba-hamba-Nya cinta
kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan menarik hati mereka untuk
mencintai-Nya. Dialah yang mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya
dengan menyebutkan (dalam al-Qur’an) sifat-sifat-Nya yang maha luas,
agung dan indah, yang ini semua akan menarik hati-hati yang suci dan
jiwa-jiwa yang lurus. Karena sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih
secara fitrah akan mencintai (sifat-sifat) kesempurnaan.
Dan Allah memiliki (sifat-sifat) kesempurnaan yang lengkap dan tidak
terbatas. Masing-masing sifat tersebut memiliki keistimewaan dalam
(menyempurnakan) penghambaan diri (seorang hamba) dan menarik hati
(hamba-hamba-Nya) untuk (mencintai)-Nya. Kemudian Dia mengajak
hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan berbagai macam nikmat dan
karunia-Nya yang agung, yang dengan itu Allah menciptakan, menghidupkan,
memperbaiki keadaan dan menyempurnakan semua urusan mereka. Bahkan
dengan itu Allah menyempurnakan (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan pokok,
memudahkan urusan-urusan, menghilangkan semua kesulitan dan kesusahan,
menetapkan hukum-hukum syariat dan memudahkan mereka menjalankannya,
serta menunjukkan jalan yang lurus kepada mereka…
Maka semua yang ada di dunia dari hal-hal yang dicintai oleh hati dan
jiwa manusia, yang lahir maupun batin, adalah (bersumber) dari kebaikan
dan kedermawanan-Nya, untuk mengajak hamba-hamba-Nya agar
mencintai-Nya.
Sungguh hati manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang (selalu)
berbuat baik kepadanya. Maka kebaikan apa yang lebih agung dari
kebaikan (yang Allah limpahkan kepada hamba-hamba-Nya)? Kebaikan ini
tidak sanggup untuk dihitung jenis dan macamnya, apalagi
satuan-satuannya. Padahal setiap nikmat (dari Allah ) mengharuskan bagi
hamba untuk hati mereka dipenuhi dengan kecintaan, rasa syukur, pujian
dan sanjungan kepada-Nya”
[13].
Agungnya kedudukan cinta kepada Allah
Cinta kepada Allah ruh (inti) Islam, pusat poros agama, serta landasan utama kebahagiaan dan keselamatan (di dunia dan akhirat)
[14].
Bahkan inilah ruh keimanan, hakikat tauhid, inti penghambaan diri dan landasan pendekatan diri (kepada-Nya)
[15].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya cinta kepada Allah , merasa
bahagia (ketika mendekatkan diri) dengan-Nya, merasa rindu untuk
berjumpa dengan-Nya, dan ridha kepada-Nya adalah landasan (utama) agama
Islam, landasan amal dan niat dalm Islam. Sebagaimana pengetahuan
tentang Allah (
ma’rifatullah) dan ilmu tentang nama-nama,
sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya adalah (ilmu) yang paling agung
(di antara) semua ilmu agama. Maka mengenal Allah adalah ilmu yang
paling agung, mengharapkan wajah-Nya adalah tujuan yang paling mulia,
beribadah kepada-Nya adalah amal yang paling tinggi, serta menyanjung
dan memuji-Nya dengan nama-nama-Nya (yang maha indah) dan
sifat-sifat-Nya (yang maha sempurna) adalah ucapan yang paling utama…
Maka cinta kepada Allah bahkan menjadikan-Nya paling dicintai oleh
seorang hamba lebih dari segala sesuatu secara mutlak adalah termasuk
kewajiban agama yang paling utama, landasannya yang paling besar dan
penopangnya yang paling mulia.
Maka barangsiapa yang mencintai makhluk (bersama Allah ) seperti dia
mencintai-Nya maka ini termasuk (perbuatan) syirik (menyekutukan Allah
dengan makhluk) yang tidak diampuni pelakunya oleh-Nya dan tidak
diterima-Nya satu amalpun darinya (kecuali dengan dia bertobat dari
perbuatan tersebut). Allah berfirman:
{
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا
لِلَّهِ }
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah” (QS al-Baqarah: 165)”
[16].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah :
{وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ}
“Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya” (QS al-Buruuj: 14).
Beliau berkata: “Dialah (Allah ) yang dicintai para wali-Nya
(hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya) dengan kecintaan yang tidak
serupa (tidak ada bandingannya) dengan apapun (di dunia ini).
Sebagaimana Dia tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dalam
sifat-sifat keagungan, keindahan, (kesempurnaan) makna dan
perbuatan-perbuatan-Nya, maka kecintaan kepada-Nya di hati
hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya sesuai dengan itu semua, (yaitu) tidak
sesuatupun dari bentuk-bentuk kecintaan yang menyamainya.
Oleh karena itu,
kecintaan kepada-Nya adalah landasan pokok peribadatan (kepada-Nya),
dan kecintaan ini mendahalui dan melebihi semua kecintaan (lainnya).
(Bahkan) jika kecintaan-kecintaan lain itu tidak mengikuti/mendukung
kecintaan kepada-Nya maka semua itu akan menjadi sikasaan (bencana) bagi
seorang hamba”
[17].
Cinta kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah kenikmatan tertinggi di dunia
Gambaran tentang agungnya keindahan cinta kepada Allah dan
kenikmatan beribadah serta mendekatkan diri kepada-Nya terungkap dalam
beberapa pernyataan dari para ulama Ahlus sunnah yang telah merasakan
keindahan dan kenikmatan tersebut.
Salah seorang di antara mereka ada yang berkata: “Sungguh kasihan
orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan
dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar
di dunia ini”, maka ada yang bertanya: “Apakah kenikmatan yang paling
besar di dunia ini?”, Ulama ini menjawab: “Cinta kepada Allah, merasa
tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu
dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan
ketaatan kepada-Nya”
[18].
Ulama salaf yang lain berkata: “Seandainya para raja dan pangeran
mengetahui (kenikmatan hidup) yang kami rasakan (dengan mencintai Allah
dan mendekatkan diri kepada-Nya), niscaya mereka akan berusaha merebut
kenikmatan tersebut dari kami dengan pedang-pedang mereka”
[19].
Demikian juga ucapan yang populer dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
beliau berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga),
barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak
akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”
[20].
Imam Ibnul Qayyim memaparkan tingginya kenikmatan dan keindahan ini
dalam penuturan beliau: “Cinta kepada Allah , mengenal-Nya (dengan
memahami kandungan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya
yang maha sempurna), selalu berzikir kepada-Nya, merasa tenang dan damai
(ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, mengesakan-Nya dalam mencintai,
takut, berharap, berserah diri dan mendekatkan diri (kepada-Nya), dengan
menjadikan semua itu satu-satunya yang menguasai pikiran, tekad dan
keinginan seorang hamba, inilah surga dunia (yang sebenarnya) dan
kenikmatan yang tiada taranya (jika dibandingkan dengan) kenikmatan
(dunia). Inilah penyejuk hati hamba-hamba yang mencintai (Allah ) dan
(kebahagiaan) hidup orang-orang yang mengenal-Nya.
Seorang hamba akan menjadi penyejuk (penghibur) hati bagi manusia
sesuai dengan begaimana hamba tersebut merasa sejuk hatinya dengan
(mendekatkan diri kepada) Allah . Maka barangsiapa yang merasa sejuk
hatinya dengan (mendekatkan diri kepada) Allah maka semua orang akan
merasa sejuk hati mereka bersamanya, dan barangsiapa yang tidak merasa
sejuk hatinya dengan (mendekatkan diri kepada) Allah maka jiwanya akan
terputus (tercurah sepenuhnya) kepada dunia dengan penuh penyesalan dan
kesedihan”
[21].
Gambaran yang disebutkan di atas tidaklah berlebihan dan
mengherankan, karena dalam al-Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah
sendiri, iman, cinta dan ibadah kepada Allah dinyatakan sebagai sesuatu
yang sangat indah dan nikmat. Bahkan dalam ayat yang kami sebutkan di
awal tulisan ini, iman yang sempurna di dalam hati para Shahabat
Rasulullah digambarkan seperti perhiasan yang sangat indah.
Coba renungkan hadits Rasulullah berikut ini: Dari Anas bin Malik
bahwa Rasulullah bersabda: “Ada tiga sifat, barangsiapa yang
memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman):
menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain
keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan merasa
benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh
Allah sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api”
[22].
Arti “manisnya iman” dalam hadits ini adalah merasakan kenikmatan
(ketika melaksanakan) ketaatan (kepada Allah ), tabah menghadapi segala
kesulitan dalam agama dan lebih mengutamakan semua itu di atas semua
perhiasan dunia
[23].
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda: “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai
Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”
[24].
Imam an-Nawawi – semoga Allah merahmatinya – ketika menjelaskan
makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain
(ridha) Allah , dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak
melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang
dibawa oleh) Rasulullah , tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang
memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam
hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman
tersebut (secara nyata)”
[25].
Oleh karena itulah, Rasulullah menggambarkan keindahan shalat, yang
merupakan ibadah dan saat berjumpa hamba-hamba Allah yang beriman
dengan kekasih mereka yang maha mulia, Allah , sebagai kebahagiaan hati
dan keindahan jiwa yang tiada taranya. Dari Anas bin Malik bahwa
Rasulullah bersabda: “Allah menjadikan
qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat”
[26].
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda kepada Bilal :
“Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat”
[27].
Kesimpulannya, indahnya rasa cinta kepada Allah menjadikan segala
bentuk ibadah dan ketaatan kepada-Nya menjadi indah dan nikmat, karena
rasa nikmat terhadap sesuatu mengikuti rasa cinta kepada sesuatu itu.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Kenikmatan itu mengikuti rasa cinta,
semakin kuat rasa cinta kepada sesuatu maka semakin besar pula
kenikmatan (ketika dekat dengannya) dan semakin berkurang kenikmatan
dengan kurangnya rasa cinta. Semakin besar rasa cinta dan rindu kepada
sesuatu maka kenikmatan ketika mendapatkannya semakin sempurna (pula)”
[28].
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya orang mencintai (Allah ) dia akan
merasakan nikmat dengan melayani (beribadah) kepada kekasihnya (Allah )
dan melakukan ketaatan kepada-Nya. Semakin kuat rasa cinta (kepada Allah
) maka kenikmatan (dengan) beribadah dan taat (kepada-Nya) semakin
sempurna. Maka hendaknya seorang hamba menimbang keimanan dan rasa
cintanya kepada Allah dengan timbangan ini, dan hendaknya dia melihat
apakah dia merasakan nikmat ketika melayani (beribadah kepada)
kekasihnya (Allah ), atau (justru) dia merasa berat dan melakukannya
dengan (rasa) jenuh dan bosan?”
[29].
Belomba-lomba dalam kebaikan, bukti indahnya cinta kepada Allah
Inilah sebabnya mengapa hamba-hamba Allah yang shaleh dalam
ayat-ayat al-Qur-an disifati dengan sifat mulia; selalu bersegera dan
berlomba-lomba dalam kebaikan. Ini dikarenakan mereka merasakan ibadah
dan amal shaleh sebagai kebutuhan utama bahkan sebagai sumber
kebahagiaan hati dan kedamaian jiwa mereka yang sesungguhnya.
Allah memuji dan menyifati para Nabi-Nya u dalam firman-Nya:
{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
selalu bersegera (berlomba-lomba) dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik
dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan
mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS
al-Anbiyaa’: 90).
Dalam ayat lain, Dia berfirman:
{إِنَّ
الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ
بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لا
يُشْرِكُونَ. وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي
الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ}
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena kepada Rabb mereka
(Allah ). Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka.
Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka (dengan sesuatu
apapun). Dan orang-orang yang memberikan (bersedekah) apa yang telah
mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa)
sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itulah
orang-orang (yang selalu) bersegera dan berlomba-lomba dalam (melakukan) kebaikan-kebaikan” (QS al-MU’minuun: 57-61).
Bahkan inilah bentuk motivasi dari Allah kepada hamba-hamba-Nya
untuk meraih kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya. Allah berfirman:
{وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ}
“Dan bersegeralah (berlomba-lombalah) kamu untuk (meraih) pengampunan
dari Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (QS Ali ‘Imraan: 133).
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
{فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ}
“Maka berlomba-lombalah kamu (dalam melakukan) kebaikan” (QS al-Baqarah: 148 dan al-Maidah: 48).
Juga dalam firman-Nya:
{وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ}
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang-orang (yang beriman) berlomba-lomba (untuk meraihnya)” (QS al-Muthaffifiin: 26).
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Maha suci (Allah ) yang memperlihatkan
kepada hamba-hamba-Nya (yang shaleh) surga-Nya (di dunia) sebelum
(mereka) bertemu dengan-Nya (di akhirat kelak), dan Dia membukakan untuk
mereka pintu-pintu surga-Nya di negeri (tempat) beramal (dunia),
sehingga mereka bisa merasakan kesejukan dan keharumannya, yang itu
(semua) menjadikan mereka (termotivasi untuk) mencurahkan (semua)
kemampuan mereka untuk meraihnya dan berlomba-lomba mendapatkannya”
[30].
Motivator cinta kepada Allah
Allah Dialah satu-satunya Zat yang pantas untuk dicintai dari semua pertimbangan dan sudut pandang
[31],
karena semua sebab yang menjadikan seorang manusia mencintai
sesuatu/orang lain maka semua itu secara sempurna ada pada Allah .
Di antara kandungan makna nama Allah
al-Waduud (Maha
Mencintai dan dicintai hamba-hamba-Nya yang shaleh) adalah bahwa Dialah
yang memberi taufik kepada hamba-hamba-Nya yang beriman kepada
sebab-sebab yang memudahkan mereka untuk mencintai-Nya, bahkan
menjadikan-Nya lebih mereka cintai dari segala sesuatu yang ada di dunia
ini.
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Karunia/kebaikan semua
kembali kepada Allah, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk
menjadikan hamba-hamba-Nya cinta kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan
menarik hati mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak
hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur’an)
sifat-sifat-Nya yang maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan
menarik hati-hati yang suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena
sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai
(sifat-sifat) kesempurnaan”
[32].
Secara umum, faktor dan sebab utama yang menjadikan manusia mencintai sesuatu/orang lain kembali kepada dua hal, yaitu:
- Keindahan dan kesempurnaan yang ada sesuatu/orang itu
- Kebaikan dan kasih sayang yang bersumber dari sesuatu/orang itu
Telah kami nukil di atas penjelasan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di
bahwa “sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan
mencintai kesempurnaan” dan “sesungguhnya hati manusia secara fitrah
akan mencintai pihak yang (selalu) berbuat baik kepadanya”
[33].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasa cinta ditinjau dari faktor yang membangkitkannya terbagi menjadi dua:
- Yang pertama: cinta yang timbul dari (faktor) kebaikan, menyaksikan banyaknya nikmat dan anugerah (yang dilimpahkan),
karena sesungguhnya hati manusia secara tabiat mencintai pihak yang
(selalu) berbuat kebaikan padanya dan membenci pihak yang (selalu)
berlaku buruk padanya.
- (Yang kedua): (cinta yang timbul dari faktor) kesempurnaan dan keindahan.
Jika terkumpul faktor kebaikan dan (banyaknya) limpahan nikmat dengan
faktor kesempurnaan dan keindahan, maka tidak akan berpaling dari
mencintai zat yang demikian keadaannya (terkumpul padanya dua faktor
tersebut) kecuali hati yang paling buruk, rendah dan hina serta paling
jauh dari semua kebaikan, karena sesungguhnya Allah menjadikan fitrah
pada hati manusia untuk mencintai pihak yang berbuat kebaikan (padanya)
dan sempurna dalam sifat-sifat dan tingkah lakunya”
[34].
Berikut ini penjelasan tentang kedua faktor tersebut dalam menumbuhkan kecintaan kepada Allah :
1. Faktor kebaikan, kasih sayang dan banyaknya limpahan nikmat
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada satupun yang kebaikannya lebih
besar dibandingkan Allah , karena sungguh kebaikan-Nya kepada hamba-Nya
(tercurah) di setiap waktu dan (tarikan) nafas (hamba tersebut). Hamba
itu selalu mendapatkan limpahan kebaikan-Nya dalam semua keadaannya,
sehingga tidak ada cara (tidak mungkin) baginya untuk menghitung (secara
persis) jenis-jenis kebaikan Allah tersebut, apalagi macam-macam dan
satuan-satuannya”
[35].
Allah berfirman:
{وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ}
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah
(datangnya), dan bila kamu ditimpa bencana, maka hanya kepada-Nya-lah
kamu meminta pertolongan” (QS an-Nahl: 53).
Artinya: Hanya kepada-Nyalah kamu berdoa dan menundukkan diri memohon
pertolongan, karena kamu mengetahui bahwa tidak ada yang mampu
menghilangkan bahaya dan bencana kecuali Dia semata-mata. Maka Zat yang
maha tunggal dalam memberikan apa yang kamu minta dan mencegah apa yang
kamu tidak sukai, Dialah satu-satunya yang pantas untuk dicintai dan
diibadahi tanpa disekutukan
[36].
Kebaikan, nikmat dan kasih sayang yang Allah limpahkan kepada
manusia, terlebih lagi kepada hamba-hamba-Nya yang beriman sungguh tiada
terhitung dan tiada terkira, melebihi semua kebaikan yang diberikan
oleh siapapun di kalangan makhluk. Karena kebaikan dan nikmatnya untuk
lahir dan batin manusia. Bahkan nikmat dan taufik-Nya bagi manusia untuk
mengenal dan mengikuti jalan Islam dan sunnah Rasulullah adalah
anugerah terbesar dan paling sempurna bagi manusia, karena inilah sebab
kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat dan tidak ada yang mampu
memberikan semua ini kecuali hanya Dia semata-mata.
Allah berfirman tentang ucapan penghuni surga:
{وَقَالُوا
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ
لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ
وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ}
“Mereka (penghuni surga) berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberi petunjuk kepada kami kepada (jalan menuju surga) ini. Dan kami
sekali-kali tidak tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi
kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Rabb kami, membawa
kebenaran”. Dan diserukan kepada mereka: “Itulah surga yang telah
diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan” (QS
al-A’raaf: 43).
Termasuk kebaikan dan kasih sayang yang paling sempurna menurut
pandangan manusia adalah kebaikan dan kasih sayang orang tuanya
kepadanya, terutama ibunya. Akan tetapi, betapapun besarnya kebaikan dan
kasih sayang tersebut, tetap saja hanya pada batasan yang mampu
dilakukan manusia. Karena tentu orang tuanya tidak mampu memberikan
rezki, mencegah penyakit atau bencana dari diri anaknya. Belum lagi
kebaikan berupa taufik untuk menempuh jalan Islam yang lurus.
Oleh karena itu, wajar jika Rasulullah bersabda: “Sungguh Allah
lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu kepada
anaknya”
[37].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Seandainya tidak ada kebaikan dan
limpahan nikmat (dari) Allah yang (seharusnya) menjadi sebab
hamba-hamba-Nya mencintai-Nya kecuali (dengan) Dia menciptakan
langit-langit dan bumi, serta (semua) yang ada di dunia dan akhirat,
(semua) untuk mereka, kemudian Dia memuliakan mereka (dengan) mengutus
kepada mereka para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya, mensyariatkan
agama-Nya dan mengizinkan bagi mereka untuk bermunajat (berkomunikasi)
dengan-Nya di setiap waktu yang mereka inginkan.
(Bahkan) dengan satu kebaikan yang mereka kerjakan Dia menuliskan
(pahala) bagi mereka sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat,
(bahkan) sampai berlipat-lipat kali yang banyak. (Sementara) untuk satu
keburukan (yang mereka kerjakan) Dia menuliskan bagi mereka (hanya) satu
dosa, lalu jika mereka bertaubat maka Dia menghapuskan dosa tersebut
dan menggantikannya dengan satu kebaikan.
Seandainya dosa salah seorang di antara hamba-hamba-Nya mencapai
(sepenuh) awan di langit kemudian dia memohon ampun kepada-Nya maka Dia
akan mengampuninya. Seandainya hamba tersebut berjumpa Allah (meninggal
dunia) dengan (membawa) dosa-dosa sepenuh bumi, tapi dia membawa tauhid
(mengesakan-Nya dalam beribadah) dan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu maka Dia akan memberikan pengampunan sepenuh bumi (pula) bagi
hamba tersebut.
Dia yang mensyariatkan bagi mereka taubat yang menggugurkan
dosa-dosa, lalu Dia (juga) yang memberi taufik kepada mereka untuk
melakukannya, kemudian Dia menerima taubat dari mereka. Dan DIa
mensyariatkan (ibadah) haji yang menggugurkan dosa-dosa yang terdahulu,
Dialah yang memberi taufik kepada mereka untuk mengerjakannya dan dengan
itu Dia menggugurkan dosa-dosa mereka.
Demikian pula semua amal ibadah dan ketaatan (lainnya), Dialah yang
memerintahkan mereka untuk mengerjakannya, Dia menciptakan mereka untuk
beribadah kepada-Nya, mensyariatkan ibadah itu untuk mereka dan
memberikan balasan pahala penegakkan ibadah itu.
Maka dari Dialah sebab, dari-Nya balasan (pahala), dan dari-Nyalah
taufik (kemudahan dan pertolongan untuk bisa mengerjakan segala
kebaikan). Dari-Nya (segala) nikmat di awal dan akhir, mereka yang
selalu mendapat kebaikan darinya seluruhnya dari awal sampai akhir. Dia
yang menganugerahkan kepada hamba-Nya harta (rizki) dan Dia menyeru
(hamba-Nya): beribadahlah kepada-Ku (bersedekahlah) dengan harta ini
maka Aku akan menerimanya darimu. Maka hamba tersebut adalah milik-Nya,
harta itu juga milik-Nya, dan dari-Nya pahala (untuk sedekah tersebut,
sehingga Dialah Yang Maha Pemberi (anugerah kebaikan) dari awal sampai
akhir.
Maka bagaimana mungkin tidak akan dicintai Zat yang demikian keadaan
(sifat-sifat kebaikan)-Nya? Bagaimana mungkin seorang hamba tidak merasa
malu untuk memalingkan rasa cintanya kepada selain-Nya? Siapakah yang
lebih pantas untuk dipuji, disanjung dan dicintai selain Allah? Dan
siapakah yang lebih banyak kepemurahan, kedermawanan dan kebaikannya
dari pada Allah? Maka maha suci Allah, segala puji bagi-Nya, tidak ada
sembahan yang benar kecuali Dia yang maha perkasa lagi maha bijaksana”
[38].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Allah mengajak
hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan berbagai macam nikmat dan
karunia-Nya yang agung, yang dengan itu Allah menciptakan, menghidupkan,
memperbaiki keadaan dan menyempurnakan semua urusan mereka. Bahkan
dengan itu Allah menyempurnakan (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan pokok,
memudahkan urusan-urusan, menghilangkan semua kesulitan dan kesusahan,
menetapkan hukum-hukum syariat dan memudahkan mereka menjalankannya,
serta menunjukkan jalan yang lurus kepada mereka…
Maka semua yang ada di dunia dari hal-hal yang dicintai oleh hati dan
jiwa manusia, yang lahir maupun batin, adalah (bersumber) dari kebaikan
dan kedermawanan-Nya, untuk mengajak hamba-hamba-Nya agar
mencintai-Nya.
Sungguh hati manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang (selalu)
berbuat baik kepadanya. Maka kebaikan apa yang lebih agung dari
kebaikan (yang Allah limpahkan kepada hamba-hamba-Nya)? Kebaikan ini
tidak sanggup untuk dihitung jenis dan macamnya, apalagi
satuan-satuannya. Padahal setiap nikmat (dari Allah ) mengharuskan bagi
hamba untuk hati mereka dipenuhi dengan kecintaan, rasa syukur, pujian
dan sanjungan kepada-Nya”
[39].
2. Faktor kesempurnaan dan keindahan
Semua manusia yang berakal sehat tentu mencintai keindahan dan
kesempurnaan. Semakin indah dan sempurna sesuatu dalam penilaian manusia
maka sesuatu itu tentu semaikn dicintainya. Misalnya saja: pemandangan
yang indah, kendaraan mewah atau barang elektronik yang canggih. Semakin
indah dan sempurna benda-benda tersebut maka akan semakin disukai
manusia dan berlomba-lomba dicarinya.
Kalau keindahan dan kesempurnaan yang ada pada makhluk saja bisa
menjadikan manusia yang mengenalnya mencintainya, padahal bagaimanapun
tingginya keindahan dan kesempurnaan yang ada pada makhluk, tetap saja
semua itu terbatas, maka bagaimana pula dengan keindahan yang maha
sempurna dan kesempurnaan yang tidak terbatas yang ada pada Allah ?
Dialah yang maha indah dan sempurna pada Zat-Nya, nama-nama-Nya,
sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya. Maka tentu seorang hamba
yang mengenal kemahaindahan dan kemahasempurnaan ini akan mencintai-Nya
bahkan menjadikan-Nya paling dicintai-Nya lebih dari segala sesuatu yang
ada di dunia ini.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Kecintaan itu memiliki dua (sebab) yang
membangkitkannya, (yaitu) keindahan dan pengagungan, dan Allah memiliki
kesempurnaan yang mutlak pada semua itu, karena Dia Maha Indah dan
mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan semua
pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatupun yang
berhak untuk dicintai dari semua segi karena zatnya kecuali Allah ”
[40].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Maka karunia/kebaikan semua
kembali kepada-Nya, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk
menjadikan hamba-hamba-Nya cinta kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan
menarik hati mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak
hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur’an)
sifat-sifat-Nya yang maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan
menarik hati-hati yang suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena
sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai
(sifat-sifat) kesempurnaan.
Dan Allah memiliki (sifat-sifat) kesempurnaan yang lengkap dan tidak
terbatas. Masing-masing sifat tersebut memiliki keistimewaan dalam
(menyempurnakan) penghambaan diri (seorang hamba) dan menarik hati
(hamba-hamba-Nya) untuk (mencintai)-Nya”
[41].
Sebagai gambaran tentang sempurnanya kemahaindahan Allah yang pasti
menjadikan orang yang mengenalnya akan mencintai-Nya dan menjadikan-Nya
paling dicintai-Nya lebih dari segala sesuatu yang ada di dunia ini,
cobalah kita cermati dan renungkan hadits berikut ini:
Dari Shuhaib bin Sinan , Rasulullah bersabda: “Jika penghuni surga
telah masuk surga, Allah Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni
surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?
Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami?
Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan
kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang
menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah
mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka cintai dari pada
melihat (wajah) Allah ”. Kemudian Rasulullah membaca firman Allah:
{لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا
ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga)
dan tambahannya (melihat wajah Allah ). Dan muka mereka tidak ditutupi
debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga,
mereka kekal di dalamnya” (QS Yuunus:26)
[42].
Benarlah ucapan imam Ibnul Qayyim: “Barangsiapa yang mengenal Allah
dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya maka dia pasti
akan mencintai-Nya”
[43].
Di tempat lain beliau berkata: “Kalau kesempurnaan itu dicintai
(manusia) karena zatnya, maka seharusnya Allah Dialah yang dicintai
(manusia) karena (kemahasempurnaan pada) zat dan sifat-sifat-Nya. Hal
ini disebabkan karena Allah tidak ada sesuatupun yang lebih sempurna
dari pada Dia, semua nama, sifat dan perbuatan-Nya menunjukkan
kesempurnaan. Maka Dialah yang dicintai dan dipuji dalam semua
perbuatan-Nya dan semua yang diperintahkan-Nya, karena tidak ada
kesia-siaan dalam semua perbuatan-Nya dan tidak ada kesalahan dalam
segala perintah-Nya. Semua perbuatan-Nya tidak lepas dari hikmah,
kemaslahatan, keadilan, karunia dan rahmat (bagi hamba-hamba-Nya), dan
masing-masing dari semua hal itu mengharuskan (manusia untuk) memuji,
menyanjung dan mencintai-Nya. Semua firman-Nya benar dan adil, semua
balasan-Nya karunia dan keadilan. Kalau Dia memberi (kepada hamba-Nya)
maka (semua itu) dengan karunia, rahmat dan nikmat-Nya, kalau Dia tidak
memberi atau menghukum (hamba-Nya yang berhak mendapat hukuman) maka
(semua itu) dengan keadilan dan hikmah-Nya”
[44].
Sebagai kesimpulan tentang dua sebab besar yang merupakan
motivator cinta kepada Allah , adalah sebagaimana ucapan imam Ibnul
Qayyim: “Jika terkumpul faktor kebaikan dan (banyaknya) limpahan nikmat
dengan faktor kesempurnaan dan keindahan, maka tidak akan berpaling dari
mencintai zat yang demikian keadaannya (terkumpul padanya dua faktor
tersebut) kecuali hati yang paling buruk, rendah dan hina serta paling
jauh dari semua kebaikan, karena sesungguhnya Allah menjadikan fitrah
pada hati manusia untuk mencintai pihak yang berbuat kebaikan (padanya)
dan sempurna dalam sifat-sifat dan tingkah lakunya”
[45].
Penutup
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua
untuk bersungguh-sungguh berusaha dan memohon taufik dari Allah agar
Dia memudahkan kita meraih kedudukan yang mulia ini, dengan rahmat dan
karunia-Nya.
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa agung dari Rasulullah :
“(Ya Allah) aku memohon kepada-Mu kecintaan kepada-Mu, kecintaan
kepada orang-orang yang mencintai-Mu dan kecintaan kepada amal perbuatan
yang mendekatkan diriku kepada kecintaan kepada-Mu”
[46].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 12 Jumadal akhir 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni