Jumat, 20 September 2013

indahnya cinta kepada allah swt


// you’re reading...

Adab dan Akhlak

Indahnya Cinta Kepada Allah

بسم الله الرحمن الرحيم
     Cinta kepada Allah  itu indah, bahkan itulah keindahan yang paling diinginkan oleh hati dan jiwa manusia. Lebih dari itu, hati manusia tidak mungkin merasa bahagia, tenang dan damai jika hati itu tidak mengenal, mencintai dan menghambakan diri kepada Allah  semata.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan, dan kebaikan bagi hati manusia kecuali (setelah) dia menjadikan Allah (sebagai) sembahannya satu-satunya, puncak dari tujuannya dan Zat yang paling dicintainya melebihi segala sesuatu (yang ada di dunia ini)”[1].
Allah  menggambarkan agungnya keindahan ini yang menghiasi hati hamba-hamba-Nya yang beriman dengan iman yang sempurna, yaitu para Shahabat , Dia  berfirman:
{وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ}
“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah (seperti perhiasan) dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS al-Hujuraat:7).
Artinya : Allah  Dialah memberikan taufik kepadamu sehingga kamu mencintai keimanan, serta Dia menjadikan rasa cinta kepada-Nya indah di dalam hatimu dan paling kamu cintai melebihi segala sesuatu yang ada di dunia ini, maka dengan itu kamu semakin bersemangat melakukan segala perbuatan yang menumbuhkan dan menyempurnakan imanmu kepada-Nya[2].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Allah  menjadikan hamba-hamba-Nya yang beriman cinta kepada keimanan, yaitu (dengan) menumbuhkan dalam hati mereka rasa cinta kepada-Nya…Maka dalam ayat ini Allah  mejelaskan bahwa Dia menumbuhkan di dalam hati hamba-hamba-Nya yang beriman dua hal; rasa cinta kepada-Nya dan indahnya rasa cinta kepada-Nya, yang ini semakin memotivasi (mereka) untuk semakin mencintai-Nya, serta Dia menumbuhkan di dalam hati mereka kebencian terhadap hal-hal yang bertentangan dengan keimanan, yaitu kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat…”[3].
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah  berdoa kepada Allah  memohon keindahan ini:
« اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ »
“Ya Allah, hiasilah (diri) kami dengan perhiasan (keindahan) iman, serta jadikanlah kami sebagai orang-orang yang (selalu) mendapat petunjuk (dari-Mu) dan memberi petnjuk (kepada orang lain)”[4].

Allah  Maha Indah serta Maha Mencintai dan dicintai hamba-hamba-Nya yang shaleh
Untuk memahami indahnya cinta kepada Allah , yang keindahan ini dianugerahkan-Nya kepada hamba-hamba yang dipilih-Nya, maka marilah kita pahami dan renungkan dua nama Allah  yang termasuk al-Asma-ul husna (nama-nama Allah  yang maha indah), yaitu nama-Nya al-Jamiil (Yang Maha Indah) dan al-Waduud (Yang Maha Mencintai dan dicintai hamba-hamba-Nya yang shaleh).
1- Nama Allah  al-Jamiil artinya: Allah  Maha Indah semua perbuatan-Nya dan Maha Sempurna semua sifat-Nya[5].
Nama Allah  ini menunjukkan sempurnanya keindahan Allah  pada semua nama, sifat, zat dan perbuatan-Nya[6].
Sempurnanya keindahan inilah yang menjadikan seorang hamba yang mengenal Allah  akan mencintai-Nya dan menjadikan kecintaan tersebut sebagai keindahan yang paling didambakan oleh hatinya melebihi segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah dengan nama-nama-Nya (Yang Maha Indah), sifat-sifat-Nya (Yang Maha Sempurna) dan perbuatan-perbuatan-Nya Yang Maha Agung) maka dia pasti akan mencintai-Nya”[7].
Di tempat lain, beliau berkata: “Kecintaan itu memiliki dua (sebab) yang membangkitkannya, (yaitu) keindahan dan pengagungan, dan Allah  memiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu, karena Dia Maha Indah dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatupun yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena zatnya kecuali Allah ”[8].
2- Nama Allah  al-Waduud artinya: Allah  Maha Mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman dan merekapun mencintai-Nya[9].
Imam Ibnul Atsir dan Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa nama Allah  al-Waduud bisa berarti al-mauduud (yang dicintai), artinya Allah  dicintai dalam hati para kekasih-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya). Juga bisa berarti al-waadd (yang mencintai), artinya Allah  mencintai hamba-hamba-Nya yang shaleh[10].
Maka makna al-Waduud adalah bahwa Allah mencintai para Nabi dan Rasul-Nya, serta orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dan merekapun mencintai-Nya. Bahkan mereka mencintai-Nya lebih dari segala sesuatu (yang ada di dunia), sehingga hati mereka dipenuhi dengan kecintaan kepada-Nya, lidah mereka selalu mengucapkan pujian/sanjungan bagi-Nya dan jiwa mereka selalu tertuju kepada-Nya dalam kecintaan, keikhlasan dan kembali kepada-Nya dalam semua keadaan”[11].
Bahkan kandungan makna nama-Nya yang maha indah ini menunjukkan bahwa Allah  menyeru hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mencintai-Nya, karena kecintaan kepada-Nya adalah sumber kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan yang hakiki bagi jiwa manusia.
Dia  mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dan menjadikan-Nya lebih mereka cintai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini, karena semua sebab yang memotivasi manusia untuk mencintai sesuatu di dunia ini, maka Allah  memiliki semua itu secara sempurna, bahkan kemahasempurnaan-Nya melebihi semua kesempurnaan yang bisa dijangkau oleh pikiran manusia.
Rasulullah  menggambarkan hal ini dalam sebuah doa beliau yang terkenal:
لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“(Ya Allah), aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang Engkau peruntukkan bagi diri-Mu sendiri”[12].
Maka oleh karena itu, Allah  Dialah satu-satunya Zat yang berhak dicintai dan dipuji dengan sepenuh hati, ditinjau dari semua pertimbangan dan sudut pandang, serta Dialah  semata-mata yang berhak untuk disembah dan diibadahi.
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan faidah penting ini dalam ucapan beliau: “al-Waduud berarti bahwa Allah mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan (memperkenalkan kepada mereka) sifat-sifat-Nya yang maha indah, berbagai karunia-Nya yang sangat luas, kelembutan-Nya yang tersembunyi dan bemacam-macam nikmat-Nya yang tampak maupun tidak. Maka Dialah al-Waduud yang berarti al-waaddu (yang mencintai) dan (juga) berarti al-mauduud (yang dicintai). Dialah yang mencintai para wali dan hamba yang dipilih-Nya, dan merekapun mencintai-Nya, maka Dialah yang mencintai mereka dan menjadikan dalam hati mereka kecintaan kepada-Nya. Lalu ketika mereka mencintai-Nya Diapun mencintai (membalas cinta) mereka dengan kecintaan lain (yang lebih sempurna) sebagai balasan (kebaikan) atas kecintaan (tulus) mereka (kepada-Nya).
Maka karunia/kebaikan semua kembali kepada-Nya, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk menjadikan hamba-hamba-Nya cinta kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan menarik hati mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur’an) sifat-sifat-Nya yang maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan menarik hati-hati yang suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai (sifat-sifat) kesempurnaan.
Dan Allah  memiliki (sifat-sifat) kesempurnaan yang lengkap dan tidak terbatas. Masing-masing sifat tersebut memiliki keistimewaan dalam (menyempurnakan) penghambaan diri (seorang hamba) dan menarik hati (hamba-hamba-Nya) untuk (mencintai)-Nya. Kemudian Dia mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan berbagai macam nikmat dan karunia-Nya yang agung, yang dengan itu Allah menciptakan, menghidupkan, memperbaiki keadaan dan menyempurnakan semua urusan mereka. Bahkan dengan itu Allah menyempurnakan (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan pokok, memudahkan urusan-urusan, menghilangkan semua kesulitan dan kesusahan, menetapkan hukum-hukum syariat dan memudahkan mereka menjalankannya, serta menunjukkan jalan yang lurus kepada mereka…
Maka semua yang ada di dunia dari hal-hal yang dicintai oleh hati dan jiwa manusia, yang lahir maupun batin, adalah (bersumber) dari kebaikan dan kedermawanan-Nya, untuk mengajak hamba-hamba-Nya agar mencintai-Nya.
Sungguh hati manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang (selalu) berbuat baik kepadanya. Maka kebaikan apa yang lebih agung dari kebaikan (yang Allah  limpahkan kepada hamba-hamba-Nya)? Kebaikan ini tidak sanggup untuk dihitung jenis dan macamnya, apalagi satuan-satuannya. Padahal setiap nikmat (dari Allah ) mengharuskan bagi hamba untuk hati mereka dipenuhi dengan kecintaan, rasa syukur, pujian dan sanjungan kepada-Nya”[13].

Agungnya kedudukan cinta kepada Allah
Cinta kepada Allah  ruh (inti) Islam, pusat poros agama, serta landasan utama kebahagiaan dan keselamatan (di dunia dan akhirat)[14].
Bahkan inilah ruh keimanan, hakikat tauhid, inti penghambaan diri dan landasan pendekatan diri (kepada-Nya)[15].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya cinta kepada Allah , merasa bahagia (ketika mendekatkan diri) dengan-Nya, merasa rindu untuk berjumpa dengan-Nya, dan ridha kepada-Nya adalah landasan (utama) agama Islam, landasan amal dan niat dalm Islam. Sebagaimana pengetahuan tentang Allah (ma’rifatullah) dan ilmu tentang nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya adalah (ilmu) yang paling agung (di antara) semua ilmu agama. Maka mengenal Allah adalah ilmu yang paling agung, mengharapkan wajah-Nya adalah tujuan yang paling mulia, beribadah kepada-Nya adalah amal yang paling tinggi, serta menyanjung dan memuji-Nya dengan nama-nama-Nya (yang maha indah) dan sifat-sifat-Nya (yang maha sempurna) adalah ucapan yang paling utama…
Maka cinta kepada Allah  bahkan menjadikan-Nya paling dicintai oleh seorang hamba lebih dari segala sesuatu secara mutlak adalah termasuk kewajiban agama yang paling utama, landasannya yang paling besar dan penopangnya yang paling mulia.
Maka barangsiapa yang mencintai makhluk (bersama Allah ) seperti dia mencintai-Nya maka ini termasuk (perbuatan) syirik (menyekutukan Allah  dengan makhluk) yang tidak diampuni pelakunya oleh-Nya dan tidak diterima-Nya satu amalpun darinya (kecuali dengan dia bertobat dari perbuatan tersebut). Allah  berfirman:
{ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ }
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS al-Baqarah: 165)”[16].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah :
{وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ}
“Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya” (QS al-Buruuj: 14).
Beliau berkata: “Dialah (Allah ) yang dicintai para wali-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya) dengan kecintaan yang tidak serupa (tidak ada bandingannya) dengan apapun (di dunia ini). Sebagaimana Dia tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dalam sifat-sifat keagungan, keindahan, (kesempurnaan) makna dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka kecintaan kepada-Nya di hati hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya sesuai dengan itu semua, (yaitu) tidak sesuatupun dari bentuk-bentuk kecintaan yang menyamainya.
Oleh karena itu, kecintaan kepada-Nya adalah landasan pokok peribadatan (kepada-Nya), dan kecintaan ini mendahalui dan melebihi semua kecintaan (lainnya). (Bahkan) jika kecintaan-kecintaan lain itu tidak mengikuti/mendukung kecintaan kepada-Nya maka semua itu akan menjadi sikasaan (bencana) bagi seorang hamba”[17].

Cinta kepada Allah  dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah kenikmatan tertinggi di dunia
Gambaran tentang agungnya keindahan cinta kepada Allah  dan kenikmatan beribadah serta mendekatkan diri kepada-Nya terungkap dalam beberapa pernyataan dari para ulama Ahlus sunnah yang telah merasakan keindahan dan kenikmatan tersebut.
Salah seorang di antara mereka ada yang berkata: “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”, maka ada yang bertanya: “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”, Ulama ini menjawab: “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya”[18].
Ulama salaf yang lain berkata: “Seandainya para raja dan pangeran mengetahui (kenikmatan hidup) yang kami rasakan (dengan mencintai Allah  dan mendekatkan diri kepada-Nya), niscaya mereka akan berusaha merebut kenikmatan tersebut dari kami dengan pedang-pedang mereka”[19].
Demikian juga ucapan yang populer dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti” [20].
Imam Ibnul Qayyim memaparkan tingginya kenikmatan dan keindahan ini dalam penuturan beliau: “Cinta kepada Allah , mengenal-Nya (dengan memahami kandungan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna), selalu berzikir kepada-Nya, merasa tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, mengesakan-Nya dalam mencintai, takut, berharap, berserah diri dan mendekatkan diri (kepada-Nya), dengan menjadikan semua itu satu-satunya yang menguasai pikiran, tekad dan keinginan seorang hamba, inilah surga dunia (yang sebenarnya) dan kenikmatan yang tiada taranya (jika dibandingkan dengan) kenikmatan (dunia). Inilah penyejuk hati hamba-hamba yang mencintai (Allah ) dan (kebahagiaan) hidup orang-orang yang mengenal-Nya.
Seorang hamba akan menjadi penyejuk (penghibur) hati bagi manusia sesuai dengan begaimana hamba tersebut merasa sejuk hatinya dengan (mendekatkan diri kepada) Allah . Maka barangsiapa yang merasa sejuk hatinya dengan (mendekatkan diri kepada) Allah maka semua orang akan merasa sejuk hati mereka bersamanya, dan barangsiapa yang tidak merasa sejuk hatinya dengan (mendekatkan diri kepada) Allah maka jiwanya akan terputus (tercurah sepenuhnya) kepada dunia dengan penuh penyesalan dan kesedihan”[21].
Gambaran yang disebutkan di atas tidaklah berlebihan dan mengherankan, karena dalam al-Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah  sendiri, iman, cinta dan ibadah kepada Allah  dinyatakan sebagai sesuatu yang sangat indah dan nikmat. Bahkan dalam ayat yang kami sebutkan di awal tulisan ini, iman yang sempurna di dalam hati para Shahabat Rasulullah  digambarkan seperti perhiasan yang sangat indah.
Coba renungkan hadits Rasulullah  berikut ini: Dari Anas bin Malik  bahwa Rasulullah  bersabda: “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allah, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api”[22].
Arti “manisnya iman” dalam hadits ini adalah merasakan kenikmatan (ketika melaksanakan) ketaatan (kepada Allah ), tabah menghadapi segala kesulitan dalam agama dan lebih mengutamakan semua itu di atas semua perhiasan dunia[23].
Dalam hadits lain, Rasulullah  bersabda: “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah  sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad  sebagai rasulnya”[24].
Imam an-Nawawi – semoga Allah  merahmatinya – ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah , dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah , tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”[25].
Oleh karena itulah, Rasulullah  menggambarkan keindahan shalat, yang merupakan ibadah dan saat berjumpa hamba-hamba Allah  yang beriman dengan kekasih mereka yang maha mulia, Allah , sebagai kebahagiaan hati dan keindahan jiwa yang tiada taranya. Dari Anas bin Malik  bahwa Rasulullah  bersabda: “Allah menjadikan qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat”[26].
Dalam hadits lain, Rasulullah  bersabda kepada Bilal :
“Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat”[27].
Kesimpulannya, indahnya rasa cinta kepada Allah  menjadikan segala bentuk ibadah dan ketaatan kepada-Nya menjadi indah dan nikmat, karena rasa nikmat terhadap sesuatu mengikuti rasa cinta kepada sesuatu itu.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Kenikmatan itu mengikuti rasa cinta, semakin kuat  rasa cinta kepada sesuatu maka semakin besar pula kenikmatan (ketika dekat dengannya) dan semakin berkurang kenikmatan dengan kurangnya rasa cinta. Semakin besar rasa cinta dan rindu kepada sesuatu maka kenikmatan ketika mendapatkannya semakin sempurna (pula)”[28].
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya orang mencintai (Allah ) dia akan merasakan nikmat dengan melayani (beribadah) kepada kekasihnya (Allah ) dan melakukan ketaatan kepada-Nya. Semakin kuat rasa cinta (kepada Allah ) maka kenikmatan (dengan) beribadah dan taat (kepada-Nya) semakin sempurna. Maka hendaknya seorang hamba menimbang keimanan dan rasa cintanya kepada Allah dengan timbangan ini, dan hendaknya dia melihat apakah dia merasakan nikmat ketika melayani (beribadah kepada) kekasihnya (Allah ), atau (justru) dia merasa berat dan melakukannya dengan (rasa) jenuh dan bosan?”[29].

Belomba-lomba dalam kebaikan, bukti indahnya cinta kepada Allah
Inilah sebabnya mengapa hamba-hamba Allah  yang shaleh dalam ayat-ayat al-Qur-an disifati dengan sifat mulia; selalu bersegera dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Ini dikarenakan mereka merasakan ibadah dan amal shaleh sebagai kebutuhan utama bahkan sebagai sumber kebahagiaan hati dan kedamaian jiwa mereka yang sesungguhnya.
Allah  memuji dan menyifati para Nabi-Nya u dalam firman-Nya:
{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera (berlomba-lomba) dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-Anbiyaa’: 90).
Dalam ayat lain, Dia  berfirman:
{إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لا يُشْرِكُونَ. وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ}
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena kepada Rabb mereka (Allah ). Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka (dengan sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan (bersedekah) apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itulah orang-orang (yang selalu) bersegera dan berlomba-lomba dalam (melakukan) kebaikan-kebaikan” (QS al-MU’minuun: 57-61).
Bahkan inilah bentuk motivasi dari Allah  kepada hamba-hamba-Nya untuk meraih kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya. Allah  berfirman:
{وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ}
“Dan bersegeralah (berlomba-lombalah) kamu untuk (meraih) pengampunan dari Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (QS Ali ‘Imraan: 133).
Dalam ayat lain, Allah  berfirman:
{فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ}
“Maka berlomba-lombalah kamu (dalam melakukan) kebaikan” (QS al-Baqarah: 148 dan al-Maidah: 48).
Juga dalam firman-Nya:
{وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ}
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang-orang (yang beriman) berlomba-lomba (untuk meraihnya)” (QS al-Muthaffifiin: 26).
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Maha suci (Allah ) yang memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya (yang shaleh) surga-Nya (di dunia) sebelum (mereka) bertemu dengan-Nya (di akhirat kelak), dan Dia membukakan untuk mereka pintu-pintu surga-Nya di negeri (tempat) beramal (dunia), sehingga mereka bisa merasakan kesejukan dan keharumannya, yang itu (semua) menjadikan mereka (termotivasi untuk) mencurahkan (semua) kemampuan mereka untuk meraihnya dan berlomba-lomba mendapatkannya”[30].

Motivator cinta kepada Allah
Allah  Dialah satu-satunya Zat yang pantas untuk dicintai dari semua pertimbangan dan sudut pandang[31], karena semua sebab yang menjadikan seorang manusia mencintai sesuatu/orang lain maka semua itu secara sempurna ada pada Allah .
Di antara kandungan makna nama Allah  al-Waduud (Maha Mencintai dan dicintai hamba-hamba-Nya yang shaleh) adalah bahwa Dialah yang memberi taufik kepada hamba-hamba-Nya yang beriman kepada sebab-sebab yang memudahkan mereka untuk mencintai-Nya, bahkan menjadikan-Nya lebih mereka cintai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Karunia/kebaikan semua kembali kepada Allah, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk menjadikan hamba-hamba-Nya cinta kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan menarik hati mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur’an) sifat-sifat-Nya yang maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan menarik hati-hati yang suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai (sifat-sifat) kesempurnaan”[32].
Secara umum, faktor dan sebab utama yang menjadikan manusia mencintai sesuatu/orang lain kembali kepada dua hal, yaitu:
-          Keindahan dan kesempurnaan yang ada sesuatu/orang itu
-          Kebaikan dan kasih sayang yang bersumber dari sesuatu/orang itu
Telah kami nukil di atas penjelasan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di bahwa “sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai  kesempurnaan” dan “sesungguhnya hati manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang (selalu) berbuat baik kepadanya”[33].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Rasa cinta ditinjau dari faktor yang membangkitkannya terbagi menjadi dua:
- Yang pertama: cinta yang timbul dari  (faktor) kebaikan, menyaksikan banyaknya nikmat dan anugerah (yang dilimpahkan), karena sesungguhnya hati manusia secara tabiat mencintai pihak yang (selalu) berbuat kebaikan padanya dan membenci pihak yang (selalu) berlaku buruk padanya.
- (Yang kedua): (cinta yang timbul dari faktor) kesempurnaan dan keindahan. Jika terkumpul faktor kebaikan dan (banyaknya) limpahan nikmat dengan faktor kesempurnaan dan keindahan, maka tidak akan berpaling dari mencintai zat yang demikian keadaannya (terkumpul padanya dua faktor tersebut) kecuali hati yang paling buruk, rendah dan hina serta paling jauh dari semua kebaikan, karena sesungguhnya Allah menjadikan fitrah pada hati manusia untuk mencintai pihak yang berbuat kebaikan (padanya) dan sempurna dalam sifat-sifat dan tingkah lakunya”[34].
Berikut ini penjelasan tentang kedua faktor tersebut dalam menumbuhkan kecintaan kepada Allah :
1. Faktor kebaikan, kasih sayang dan banyaknya limpahan nikmat
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada satupun yang kebaikannya lebih besar dibandingkan Allah , karena sungguh kebaikan-Nya kepada hamba-Nya (tercurah) di setiap waktu dan (tarikan) nafas (hamba tersebut). Hamba itu selalu mendapatkan limpahan kebaikan-Nya dalam semua keadaannya, sehingga tidak ada cara (tidak mungkin) baginya untuk menghitung (secara persis) jenis-jenis kebaikan Allah  tersebut, apalagi macam-macam dan satuan-satuannya”[35].
Allah  berfirman:
{وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ}
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa bencana, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan” (QS an-Nahl: 53).
Artinya: Hanya kepada-Nyalah kamu berdoa dan menundukkan diri memohon pertolongan, karena kamu mengetahui bahwa tidak ada yang mampu menghilangkan bahaya dan bencana kecuali Dia  semata-mata. Maka Zat yang maha tunggal dalam memberikan apa yang kamu minta dan mencegah apa yang kamu tidak sukai, Dialah satu-satunya yang pantas untuk dicintai dan diibadahi tanpa disekutukan[36].
Kebaikan, nikmat dan kasih sayang yang Allah  limpahkan kepada manusia, terlebih lagi kepada hamba-hamba-Nya yang beriman sungguh tiada terhitung dan tiada terkira, melebihi semua kebaikan yang diberikan oleh siapapun di kalangan makhluk. Karena kebaikan dan nikmatnya untuk lahir dan batin manusia. Bahkan nikmat dan taufik-Nya bagi manusia untuk mengenal dan mengikuti jalan Islam dan sunnah Rasulullah  adalah anugerah terbesar dan paling sempurna bagi manusia, karena inilah sebab kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat dan tidak ada yang mampu memberikan semua ini kecuali hanya Dia  semata-mata.
Allah  berfirman tentang ucapan penghuni surga:
{وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}

“Mereka (penghuni surga) berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada kami kepada (jalan menuju surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Rabb kami, membawa kebenaran”. Dan diserukan kepada mereka: “Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan” (QS al-A’raaf: 43).
Termasuk kebaikan dan kasih sayang yang paling sempurna menurut pandangan manusia adalah kebaikan dan kasih sayang orang tuanya kepadanya, terutama ibunya. Akan tetapi, betapapun besarnya kebaikan dan kasih sayang tersebut, tetap saja hanya pada batasan yang mampu dilakukan manusia. Karena tentu orang tuanya tidak mampu memberikan rezki, mencegah penyakit atau bencana dari diri anaknya. Belum lagi kebaikan berupa taufik untuk menempuh jalan Islam yang lurus.
Oleh karena itu, wajar jika Rasulullah  bersabda: “Sungguh Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya”[37].
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Seandainya tidak ada kebaikan dan limpahan nikmat (dari) Allah yang (seharusnya) menjadi sebab hamba-hamba-Nya mencintai-Nya kecuali (dengan) Dia menciptakan langit-langit dan bumi, serta (semua) yang ada di dunia dan akhirat, (semua) untuk mereka, kemudian Dia memuliakan mereka (dengan) mengutus kepada mereka para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya, mensyariatkan agama-Nya dan mengizinkan bagi mereka untuk bermunajat (berkomunikasi) dengan-Nya di setiap waktu yang mereka inginkan.
(Bahkan) dengan satu kebaikan yang mereka kerjakan Dia menuliskan (pahala) bagi mereka sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, (bahkan) sampai berlipat-lipat kali yang banyak. (Sementara) untuk satu keburukan (yang mereka kerjakan) Dia menuliskan bagi mereka (hanya) satu dosa, lalu jika mereka bertaubat maka Dia menghapuskan dosa tersebut dan menggantikannya dengan satu kebaikan.
Seandainya dosa salah seorang di antara hamba-hamba-Nya mencapai (sepenuh) awan di langit kemudian dia memohon ampun kepada-Nya maka Dia akan mengampuninya. Seandainya hamba tersebut berjumpa Allah (meninggal dunia) dengan (membawa) dosa-dosa sepenuh bumi, tapi dia membawa tauhid (mengesakan-Nya dalam beribadah) dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu maka Dia akan memberikan pengampunan sepenuh bumi (pula) bagi hamba tersebut.
Dia yang mensyariatkan bagi mereka taubat yang menggugurkan dosa-dosa, lalu Dia (juga) yang memberi taufik kepada mereka untuk melakukannya, kemudian Dia menerima taubat dari mereka. Dan DIa mensyariatkan (ibadah) haji yang menggugurkan dosa-dosa yang terdahulu, Dialah yang memberi taufik kepada mereka untuk mengerjakannya dan dengan itu Dia menggugurkan dosa-dosa mereka.
Demikian pula semua amal ibadah dan ketaatan (lainnya), Dialah yang memerintahkan mereka untuk mengerjakannya, Dia menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya, mensyariatkan ibadah itu untuk mereka dan memberikan balasan pahala penegakkan ibadah itu.
Maka dari Dialah sebab, dari-Nya balasan (pahala), dan dari-Nyalah taufik (kemudahan dan pertolongan untuk bisa mengerjakan segala kebaikan). Dari-Nya (segala) nikmat di awal dan akhir, mereka yang selalu mendapat kebaikan darinya seluruhnya dari awal sampai akhir. Dia yang menganugerahkan kepada hamba-Nya harta (rizki) dan Dia menyeru (hamba-Nya): beribadahlah kepada-Ku (bersedekahlah) dengan harta ini maka Aku akan menerimanya darimu. Maka hamba tersebut adalah milik-Nya, harta itu juga milik-Nya, dan dari-Nya pahala (untuk sedekah tersebut, sehingga Dialah Yang Maha Pemberi (anugerah kebaikan) dari awal sampai akhir.
Maka bagaimana mungkin tidak akan dicintai Zat yang demikian keadaan (sifat-sifat kebaikan)-Nya? Bagaimana mungkin seorang hamba tidak merasa malu untuk memalingkan rasa cintanya kepada selain-Nya? Siapakah yang lebih pantas untuk dipuji, disanjung dan dicintai selain Allah? Dan siapakah yang lebih banyak kepemurahan, kedermawanan dan kebaikannya dari pada Allah? Maka maha suci Allah, segala puji bagi-Nya, tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia yang maha perkasa lagi maha bijaksana”[38].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Allah mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan berbagai macam nikmat dan karunia-Nya yang agung, yang dengan itu Allah menciptakan, menghidupkan, memperbaiki keadaan dan menyempurnakan semua urusan mereka. Bahkan dengan itu Allah menyempurnakan (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan pokok, memudahkan urusan-urusan, menghilangkan semua kesulitan dan kesusahan, menetapkan hukum-hukum syariat dan memudahkan mereka menjalankannya, serta menunjukkan jalan yang lurus kepada mereka…
Maka semua yang ada di dunia dari hal-hal yang dicintai oleh hati dan jiwa manusia, yang lahir maupun batin, adalah (bersumber) dari kebaikan dan kedermawanan-Nya, untuk mengajak hamba-hamba-Nya agar mencintai-Nya.
Sungguh hati manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang (selalu) berbuat baik kepadanya. Maka kebaikan apa yang lebih agung dari kebaikan (yang Allah  limpahkan kepada hamba-hamba-Nya)? Kebaikan ini tidak sanggup untuk dihitung jenis dan macamnya, apalagi satuan-satuannya. Padahal setiap nikmat (dari Allah ) mengharuskan bagi hamba untuk hati mereka dipenuhi dengan kecintaan, rasa syukur, pujian dan sanjungan kepada-Nya”[39].
2. Faktor kesempurnaan dan keindahan
Semua manusia yang berakal sehat tentu mencintai keindahan dan kesempurnaan. Semakin indah dan sempurna sesuatu dalam penilaian manusia maka sesuatu itu tentu semaikn dicintainya. Misalnya saja: pemandangan yang indah, kendaraan mewah atau barang elektronik yang canggih. Semakin indah dan sempurna benda-benda tersebut maka akan semakin disukai manusia dan berlomba-lomba dicarinya.
Kalau keindahan dan kesempurnaan yang ada pada makhluk saja bisa menjadikan manusia yang mengenalnya mencintainya, padahal bagaimanapun tingginya keindahan dan kesempurnaan yang ada pada makhluk, tetap saja semua itu terbatas, maka bagaimana pula dengan keindahan yang maha sempurna dan kesempurnaan yang tidak terbatas yang ada pada Allah ? Dialah yang maha indah dan sempurna pada Zat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya. Maka tentu seorang hamba yang mengenal kemahaindahan dan kemahasempurnaan ini akan mencintai-Nya bahkan menjadikan-Nya paling dicintai-Nya lebih dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Kecintaan itu memiliki dua (sebab) yang membangkitkannya, (yaitu) keindahan dan pengagungan, dan Allah  memiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu, karena Dia Maha Indah dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatupun yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena zatnya kecuali Allah ”[40].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Maka karunia/kebaikan semua kembali kepada-Nya, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk menjadikan hamba-hamba-Nya cinta kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan menarik hati mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur’an) sifat-sifat-Nya yang maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan menarik hati-hati yang suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai (sifat-sifat) kesempurnaan.
Dan Allah  memiliki (sifat-sifat) kesempurnaan yang lengkap dan tidak terbatas. Masing-masing sifat tersebut memiliki keistimewaan dalam (menyempurnakan) penghambaan diri (seorang hamba) dan menarik hati (hamba-hamba-Nya) untuk (mencintai)-Nya”[41].
Sebagai gambaran tentang sempurnanya kemahaindahan Allah  yang pasti menjadikan orang yang mengenalnya akan mencintai-Nya dan menjadikan-Nya paling dicintai-Nya lebih dari segala sesuatu yang ada di dunia ini, cobalah kita cermati dan renungkan hadits berikut ini:
Dari Shuhaib bin Sinan , Rasulullah  bersabda: “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah  Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka cintai dari pada melihat (wajah) Allah ”. Kemudian Rasulullah  membaca firman Allah:
{لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS Yuunus:26)[42].

Benarlah ucapan imam Ibnul Qayyim: “Barangsiapa yang mengenal Allah dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya maka dia pasti akan mencintai-Nya”[43].
Di tempat lain beliau berkata: “Kalau kesempurnaan itu dicintai (manusia) karena zatnya, maka seharusnya Allah  Dialah yang dicintai (manusia) karena (kemahasempurnaan pada) zat dan sifat-sifat-Nya. Hal ini disebabkan karena Allah tidak ada sesuatupun yang lebih sempurna dari pada Dia, semua nama, sifat dan perbuatan-Nya menunjukkan kesempurnaan. Maka Dialah yang dicintai dan dipuji dalam semua perbuatan-Nya dan semua yang diperintahkan-Nya, karena tidak ada kesia-siaan dalam semua perbuatan-Nya dan tidak ada kesalahan dalam segala perintah-Nya. Semua perbuatan-Nya tidak lepas dari hikmah, kemaslahatan, keadilan, karunia dan rahmat (bagi hamba-hamba-Nya), dan masing-masing dari semua hal itu mengharuskan (manusia untuk) memuji, menyanjung dan mencintai-Nya. Semua firman-Nya benar dan adil, semua balasan-Nya karunia dan keadilan. Kalau Dia memberi (kepada hamba-Nya) maka (semua itu) dengan karunia, rahmat dan nikmat-Nya, kalau Dia tidak memberi atau menghukum (hamba-Nya yang berhak mendapat hukuman) maka (semua itu) dengan keadilan dan hikmah-Nya”[44].
Sebagai kesimpulan tentang dua sebab besar yang merupakan motivator cinta kepada Allah , adalah sebagaimana ucapan imam Ibnul Qayyim: “Jika terkumpul faktor kebaikan dan (banyaknya) limpahan nikmat dengan faktor kesempurnaan dan keindahan, maka tidak akan berpaling dari mencintai zat yang demikian keadaannya (terkumpul padanya dua faktor tersebut) kecuali hati yang paling buruk, rendah dan hina serta paling jauh dari semua kebaikan, karena sesungguhnya Allah menjadikan fitrah pada hati manusia untuk mencintai pihak yang berbuat kebaikan (padanya) dan sempurna dalam sifat-sifat dan tingkah lakunya”[45].

Penutup
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk bersungguh-sungguh berusaha dan memohon taufik dari Allah  agar Dia memudahkan kita meraih kedudukan yang mulia ini, dengan rahmat dan karunia-Nya.
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa agung dari Rasulullah :
“(Ya Allah) aku memohon kepada-Mu kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu dan kecintaan kepada amal perbuatan yang mendekatkan diriku kepada kecintaan kepada-Mu”[46].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 12 Jumadal akhir 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar